Menuju Kemerdekaan Fiskal yang Berkelanjutan untuk Aceh

Menuju Kemerdekaan Fiskal yang Berkelanjutan untuk Aceh


Prof Dr Heru Fahlevi SE MSc CA

, Profesor Utama Akuntansi Sektor Publik sekaligus Ketua Departemen Akuntansi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK


KABAR

Terkait masalah ketergantungan fiskal pemerintah daerah di Indonesia yang rendah telah muncul lagi dan menjadi sorotan publik. Meskipun kondisi ini sudah terjadi cukup lama, informasi tentang hal itu tetap mendapat perhatian dari para analis dalam konteks usaha peningkatan efisiensi Anggaran Pendanaan Belanja Negara (APBN) yang dicanangkan secara langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.

Aceh, yang merupakan salah satu provinsi dengan anggaran pembangunan daerah (APBD) tertinggi di Indonesia, melaporkan pencapaian pendapatan Anggaran Pendanaan Berkelanjutan Aceh (APBA) pada tahun 2023 senilai Rp10,57 triliun. Meskipun demikian, hampir 70% dari capaian pendapatan itu berasal dari dana transfer, sedangkan sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya sekitar 28%. Ini menunjukkan bahwa sistem keuangan Provinsi Aceh sangat bergantung pada dukungan dari pemerintah pusat. Demikian pula, pemerintah kabupaten dan kota di wilayah Aceh menghadapi masalah serupa dalam hal dependensi finansial.

Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah Aceh mampu bertahan pascaberakhirnya dana Otsus di tahun 2027 nanti? Bagaimana strategi yang akan diambil oleh kepala daerah yang baru dilantik dalam meningkatkan kemandirian fiskal daerahnya? Kemandirian fiskal bukan sekadar jargon teknokratik, tapi sebuah instrumen untuk menilai kemampuan daerah untuk berdiri di atas kaki sendiri.

Idealnya, pemerintah daerah harus dapat membiayai kebutuhan pemerintahan dan pelayanan publiknya dengan mengandalkan PAD masing-masing, tanpa terlalu bergantung pada suntikan dana transfer dari pusat. Besarnya proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah kemudian menjadi cerminan kemandirian fiskal daerah. Ini sekaligus menjadi indikator utama keberhasilan desentralisasi fiskal di Indonesia yang memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya, termasuk dalam hal keuangan.

Di tengah tingginya ketidakpastian ekonomi global, pemerintah pusat merespons dengan upaya efisiensi pengeluaran pemerintah, termasuk dengan memotong dana transfer. Anggaran transfer ke daerah (TKD) mengalami pemotongan sebesar Rp 50,59 triliun. Menurut Keputusan Menteri Keuangan (PMK) RI Nomor 29 Tahun 2025, transfer ke pemerintah Aceh mengalami penurunan sebesar Rp317 miliar. Angka yang tidak kecil di tengah kebutuhan pelayanan publik yang semakin meningkat.


Kemandirian fiskal

Sebagai pemegang anggaran Khusus Autonomi Daerah, Pemerintah Aceh menerima sumber pendapatan ekstra guna mengembangkan otonominya secara finansial. Dana ini seharusnya dialokasikan untuk memajukan sarana dan prasarana dengan dampak positif terhadap pertumbuhan serta dapat dijadikan aset penghasil pendapatan, sehingga meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Akan tetapi, realisasinya adalah bahwa tingkat kemandiriannya belum mencerminkan perbaikan substansial.

Sebaliknya dari harapan untuk meningkatkan kemandirian, tingkat kebergantungan pemerintah daerah di Aceh pada bantuan finansial ekstra ini malah makin membesar. Dana Otomotiv Ujroh (Otsus) yang sebenarnya harus menggerakan pembentukan bisnis lokal produktif, umumnya dipergunakan untuk pengeluaran bersifat konsumsi serta bagian darinya menjadi harta tanpa manfaat signifikan.

Saat anggaran Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Aceh mendekati akhir periode, pemerintah daerah harus menjadikan peningkatan kemandirian finansial lokal menjadi prioritas nomor satu. Jika tidak ada lagi dana Otsus, perkiraannya adalah bahwa pendapatan daerah bisa turun drastis sampai 50%, sedangkan bagian dari pengeluaran daerah telah mencapai batas pencapaian pendapatan daerah, sehingga membuat ruang fiskal makin sempit. Tanpa tindakan strategis yang tepat, risiko resesi ekonomi tampak sangat jelas dan dekat ketika masa ujung manfaat dana Otsus Aceh habis.


Strategi

Sebagai gantinya, Pemerintah Aceh bisa mengambil inspirasi dari taktik-taktik yang digunakan oleh pemerintah provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, di mana rasionya Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan telah menyentuh angka 60%. Tak diragukan lagi, empat wilayah ini memiliki kelebihan dalam hal potensi penghasilan, dengan DKI Jakarta sebagai sentral utama ekonomi dan administrasi negara kita. Beberapa upaya penting pun telah dilakukan untuk memaksimalkan peluang PAD setiap daerah tersebut, walaupun itu berarti harus meresahkan reputasi politik serta stabilitas sosial masyarakat lokal.

Berdasarkan laporan realisasi PAD Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, terungkap bahwa pajak daerah menjadi penyumbang utama PAD. DKI Jakarta, sebagai contoh, mencatat realisasi pajak daerah sebesar Rp44,46 atau 87?ri total PAD tahun 2024. Pajak daerah tersebut berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan pajak rokok. Postur PAD yang sama juga terlihat di Pemprov Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Apabila dibandingkan dengan posisi APBD Pemerintah Aceh, pencapaian mereka di tahun 2023 adalah sebesar 2,98 triliun rupiah yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah Aceh (PAD) yaitu Pajak Daerah Aceh senilai 1,79 triliun, serta Retribusi Aceh berjumlah 16,4 miliar dan sumber penerimaan lainnya. Lalu pertanyaannya menjadi: Apakah tujuan dan hasil pengumpulan pajak daerah ini telah tepat? Diperlukan penelitian lebih jauh tentang peluang untuk meningkatkan pendapatan pajak Aceh agar dapat menetapkan target dalam perencanaan keuangan yang masuk akal dan sesuai fakta.

Singkatnya, sistem pengumpulan pajak lokal saat ini cenderung bersifat manual dan kurang seimbang. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis serta terencana baik untuk mengoptimalkan potensi maupun pencapaian dari pendapatan asli daerah. Salah satunya adalah melakukan digitalisasi dalam proses pembayaran pajak setempat, memperkuat kampanye publik secara luas, serta menjamin pelaksanaan hukum tanpa ada diskriminasi. Penting diingat bahwa Pendapatan Asli Daerah sangat berkaitan erat dengan kondisi ekonomi lokal. Sehubungan hal tersebut, pemda harus menjadikan percepatan perkembangan ekonomi sebagai prioritas nomor satu mereka.

Perekonomian yang sehat akan memperluas pendapatan asli daerah melalui kenaikan pajak lokal serta elemen-elemen lain dari PAD. Upaya ini bisa dicapai dengan mengundang peluang investasi ke dalam wilayah Aceh. Berdasarkan informasi terakhir, direncanakan pembangunan sebuah pabrik ban di bagian barat Aceh serta pabrik minyak goreng dan unit pemrosesan kelapa sawit di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun, Lhokseumawe.

Investasi ini pastinya akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi lokal asalkan ada peningkatan dalam mekanisme pengumpulan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk mengurangi kerugian. Selain itu, diperlukan juga jaminan operasional bagi para pelaku usaha agar kegiatan industri bisa tetap berkelanjutan. Salah satu faktor krusial lainnya ialah masalah dampak lingkungan. Tentunya warga setempat enggan apabila proyek investasi tersebut merusak standar hidup penduduk serta mengekspos alam menjadi ancaman.

Pemda harus mengadakan analisis dampak lingkungan untuk memastikan bahwa seluruh investasi yang disetujui akan menciptakan manfaat ekonomi melebihi harga kerusakan lingkungan yang terjadi.

Lebih lanjut, optimalisasi PAD tidak dapat tercapai tanpa adanya partisipasi masyarakat. Pemda harus meningkatkan willingness to pay (kesediaan untuk membayar) masyarakat termasuk pihak swasta untuk memenuhi kewajiban pajaknya.

Pada kasus ini, peran dari aparatur pemerintahan, terlebih lagi kepala daerah, sangat menentukan. Mereka yang memiliki tanggung jawab publik seharusnya mengambil bagian sebagai teladan dalam membayar pajak tepat waktu, berhemat pada anggaran umum, serta memihak pada pertumbuhan ekonomi warga setempat. Jika tanpa aspek-aspek tersebut, dukungan masyarakat untuk ikuti langkah-langkah pemerintah takkan naik, sementara mandiri secara finansial cuma jadi janji kosong.

Diakhir cerita ini, otonomi finansial lokal tak cuma jadi opsi, tapi sudah jadi kebutuhan mutlak supaya menjamin masa depan yang lebih baik. Untuk wilayah-wilayah seperti Aceh yang mendapat Dana Otomotif Khusus (Otsus), beban mereka dalam mencapai kemandirian ekonomi makin berat, tidak hanya demi tujuan negara, namun juga guna perkembangan serta kesejahteraan setempat. Mudah-mudahan Aceh dapat mengambil peranan sebagai contoh terbaik dalam manajemen dan pencapaian autonomi keuangan bagi daerah-daerah lain di Indonesia.

Post Comment