Mengapa Hujan Masih Sering Turun di Musim Kemarau?

Mengapa Hujan Masih Sering Turun di Musim Kemarau?

AA1AaWc5 Mengapa Hujan Masih Sering Turun di Musim Kemarau?

 

,


Jakarta

– BMKG menginformasikan bahwa walaupun Indonesia sudah mulai memasuki
musim kemarau
Sejak akhir April, beberapa daerah memiliki kesempatan untuk mendapatkan hujan dikarenakan suasana di atmosfir yang tak menentu saat periode transisi tersebut.

Sebelumnya,
BMKG
Mengantisipasi bahwa kira-kira 403 Zona Musim (ZONAMUSIM), yang setara dengan sekitar 57,7% area di Indonesia, akan mengalami musim kemarau antara bulan April sampai Juni tahun 2025, sesuai dengan temuan penelitiannya.

Pada sejumlah pekan belakangan, warga mengalami kepanasan di siang hari dengan temperatur yang sangat tinggi, tetapi disusul oleh hujan pada petang atau malam hari. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menegaskan bahwa kondisi iklim tersebut adalah karakteristik biasanya terjadi saat perpindahan antara musim penghujan ke musim kemarau.

Tidak stabilnya kondisi atmosfir pada periode transisi saat ini mungkin mengarah ke pembentukan awan konvektif, misalnya Cumulonimbus (CB). Ini berpotensi menimbulkan iklim ekstrim seperti hujan lebat, kilat, badai angin kuat, atau bahkan hujan butiran es.

BMKG mencatat,
hujan
Dengan intensitas yang luar biasa kuat terjadi di beberapa daerah pada akhir bulan Mei, yaitu sebagai berikut: tanggal 10 Mei di Kota Tangerang Selatan, Banten dengan curah hujan mencapai 103,0 mm/sehari; 11 Mei di Kabupaten Sleman, DIY dengan total kehujanan adalah 115,3 mm/sehari; 12 Mei di Kabupaten Merauke, Papua Selatan memiliki curah hujan sebesar 118,0 mm/sehari; serta pada 14 Mei di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah melihat jumlah penghujan mencapai 105,7 mm/sehari.

Melihat sifat atmosfir yang tidak menentu dan bisa saja berubah dengan cepat dalam masa ini, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyuruh penduduk agar tetap hati-hati terkait ancaman iklim ekstrim. Walaupun sudah masuk ke musim kemarau, risiko adanya hujan deras bersama kilat serta angin kuat masih cukup besar.

Peristiwa Di Laut Jawa Memicu Curah Hujan Berkelanjutan

Erma Yulihastin, peneliti dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, menyatakan bahwa curah hujan ekstrem yang terus melanda beberapa daerah di Pulau Jawa adalah akibat anomali pada arah angin. Fenomena ini mencakup pembentukan siklone berskala sedang (meso-vortex) di perairan Laut Jawa dan Samudera Hindia bagian baratdaya Provinsi Banten. Akan tetapi, sesuai catatan BMKG, kejadian serupa justru lebih dekat ke baratdaya Kota Bengkulu.

Erma mengatakan bahwa adanya meso-vortex di Laut Jawa merupakan suatu peristiwa langka, apalagi munculnya ini terjadi pada masa kemarau,” tuturnya ketika diwawancara, Jum’at, 23 Mei 2025.

Dia menyebutkan bahwa angin yang umum berhembus selama musim kemarau datang dari arah timur dan memiliki karakteristik konsisten (seragam). Berdasarkan pola angin tersebut, peluang pembentukan badai jenis meso-vortex sangat rendah. Meski demikian, angin ini masih dapat mengakibatkan munculnya puting beliung, termasuk dalam tingkat intensitas ekstrim mirip tornado dengan skor 0, yang memiliki kecepatan sekitar 50 sampai 70 kilometer per jam.

“Karenanya, fenomena meso-vortex yang muncul pada dasarian ketiga bulan Mei tahun ini memerlukan penelitian lebih dalam,” katanya.

Di samping menghasilkan badai meso-vortex, fenomena tersebut juga menciptakan pergantian arah angin; seharusnya datang dari timur malah bertiup dari barat, serta posisi angin dari selatan berubah menuju utara. Pergeseran ini memberi dampak pada distribusi curah hujan di Pulau Jawa, yang saat ini memiliki area cakupan lebih lebar dan merata dari lautan ke daratan dengan cara yang cukup signifikan, mirip dengan pola hujan ketika sedang musim kemarau terbalik.

“Ini yang membuat musim kemarau menjadi terlambat, hingga akhirnya Jawa baru akan memulai musim kemarau di bulan Juni mendatang,” ujar wanita bergelar Peneliti Utama dalam bidang Klimatologi tersebut.

Berdasarkan laporan klimatologi terbaru dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengenai periode kedua bulan Mei, hanya sekitar 11% area musim di Indonesia yang sudah masuk ke fase kemarau. Di sisi lain, 73% region tetap berada pada kondisi musim hujan. Ini menandakan bahwa mayoritas lokasi saat ini sedang menjalani perubahan dari situasi musim hujan menuju musim kemarau.

Sebenarnya, BMKG sempat meramalkan bahwa pergantian musim kali ini bakal dimulai secara bertahap bulan Maret, dengan titik puncak musim kering diproyeksikan terjadi antara Juni sampai Agustus.


Ni Kadek Trisna Cintya Dewi

dan

M. Faiz Zaki

ikut berpartisipasi dalam penyusunan artikel ini.

Post Comment